Welcome to Akhmad Ghafuri Blog's

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat datang di blog saya yang sangat sederhana ini. Dengan harapan semoga bermanfaat, saling mengisi dan berbagi segala opini dan ide-ide demi kelangsungan hidup di masa depan.

Karya Tulis Penulisan Buku, Judul : ” Bunga Rampai Pesta Demokrasi di Kotabaru ”, penerbit Pustaka Banua Banjarmasin, Juni 2007, ISBN 979-3381-38-8

Minggu, 20 Februari 2011

Sejarah Adat Istiadat Suku-Bangsa Banjar ~ Akhmad Gafuri

Sejarah Adat Istiadat Suku-Bangsa Banjar

SEJARAH HUKUM ADAT SUKU BANGSA BANJAR
Akhmad Gafuri, SH *)

I.        PENDAHULUAN
Istilah hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah recht. Donald Black memberikan defenisi hukum yaitu sebagai berikut : “ Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah “, Donald Black membagi dua pengertian kontrol sosial, yakni kontrol sosial dalam arti sempit dan dalam arti luas. Kontrol sosial dalam arti sempit adalah aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna atau mencegah perilaku yang buruk, sedangkan kontrol sosial dalam arti yang luas adalah jaringan aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu.
Sedangkan John Austin ( 1790-1859 ) mengemukan, “ Hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya [1]
Kemudian menurut Soerjono Soekanto, hukum adalah merupakan sarana pengendalian sosial dalam arti sebagai suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya, akan tetapi di lain pihak hukum mungkin juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar interaksi sosial ( “ Law as afacilitation of human interaction “)
Di mana ada masyarakat di situ ada hukum, demikian juga halnya pada kehidupan suku bangsa-suku bangsa terdahulu, khususnya pada suku bangsa Banjar. Hukum merupakan salah satu dari norma sosial yang ditujukan untuk mempertahankan ketertiban dalam hidup bermasyarakat.  
II.      HUKUM DALAM SUKU-BANGSA BANJAR
A.  Asal Usul Suku Bangsa Banjar
Mengingat persamaan yang besar sekali antara bahasa yang dikembangkan suku-bangsa Banjar dengan bahasa Melayu, yang dikembangkan oleh suku-suku bangsa di Sumatera dan sekitarnya, dapat diduga nenek moyang suku-bangsa Banjar berintikan pecahan suku-bangsa Melayu yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini, dari Sumatera dan sekitarnya. Pada waktu peristiwa pengungsian itu terjadi sebagaian besar di Kalimantan bagian selatan, yaitu yang sekarang ini merupakan lembah sungai Negara dan sungai Barito dan daerah sebelah baratnya, mungkin sekali masih berwujud sebuah teluk yang amat luas. Batas teratas teluk raksasa itu mungkin terletak di sekitar kota Tanjung  ( di tepi sungai Tabalong ) dan kota Muara Teweh ( di hulu sungai Baito ) sekarang ini, sedangkan pantai sebelah timurnya terletak di kaki Pegunungan Meratus. Ke dalam teluk raksasa tersebut mengalir sungai-sungai yang banyak sekali, yang meninggalkan lumpur dan pasir yang melimpah ruah, sehingga setelah melalui masa lebih dari seribu tahun, teluk raksasa itu berubah menjadi sebuah dataran randah yang berawa-rawa seperti wujudnya sekarang ini. [2]
Imigrasi  besar-besaran suku-bangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Barangkali suku Dayak Bukit yang mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama, bahasa mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa Banjar yang agak kuno, dan mereka tidak mempunyai tradisi mengayau, seperti yang dipunyai suku-suku Dayak lainnya. Mungkin sekali mereka itu pada mulanya mendiami wilayah yang jauh lebih ke hilir, tetapi mereka kemudian terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan,  dan juga dalam proses selanjutnya kelompok-kelompok Banjar mendesak mereka pula, sehingga mereka akhirnya berada lebih jauh di Pegunungan Meratus. Imigran-imigran Melayu yang datang belakangan inilah barangkali yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan kelompok Ngaju, melebur kedalamnya, berkembang menjadi suku-bangsa Banjar, dan membentuk tiga kelompok subsuku. Nama Banjar diperoleh ketika pusat kekuasaan berada di Banjarmasin, dan sesuai dengannya kesultanan yang memerintah dinamakan Kesultanan Banjar sampai tahun 1850 (kesultanan Banjar dihapuskan).[3]
B. Asal Usul Kerajaan Banjar
            Menurut Hikayat Bandjar, melukiskan asal usul terbentuknya Kerajaan Banjar sebagai bermula dari kedatangan rombongan imigran dari Keling, India, yang mencari tanah air baru di kawasan ini, Meskipun Hikayat tegas-tegas menyebut India, tetapi umumnya dianut pendapat, negeri asal imigran ini ialah salah satu tempat di Jawa Tmur, yaitu sebuah negeri bernama Kalingga. Arus pengungsian itu kemungkinan sekali terjadi pada masa kekacauan saat peralihan kepada kekuasaan Majapahit, sekitar tahun 1300.[4]
Empu Jatmika, pimpinan rombongan imigran itu, dijadikan raja di negeri Negaradipa, yang terletak di sekitar kota Amuntai saat ini, yaitu di sekitar sisa-sisa sebuah candi (dinamakan candi Agung). Ketika ia meninggal dunia, ia berwasiat kepada anak-anaknya agar tidak mengaku sebagai raja, seperti yang telah dilakukannya, melainkan berusaha mendapatkan seorang raja dengan cara bertapa. Salah seorang anaknya yang bernama Lambung Mangkurat, dalam pertapaannya berhasil memperoleh seorang puteri, yang konon muncul dari dalam buih, yang dinamakan Puteri Junjung Buih.
TImbul problem siapa yang akan menjadi pendamping puteri sebagai suami, karena konon puteri hanya bersedia kawin dengan seorang putera yang seperti halnya dirinya, diperoleh dari hasil bertapa pula. Atas dasar petunjuk ayahnya, yang diperoleh Lambung Mangkurat melalui mimpi, akhirnya diperoleh seorang calon suami, yaitu seorang putera,yang diperoleh raja Majapahit dengan cara bertapa, benama Raden Putera. Pendek cerita Puteri Junjung Buih dikawinkan dengan Raden Putera, yang kemudian bernama Pangeran Suryanata.
Pangeran Suryanata dan Puteri Junjung Buih mempunyai putera dua orang. Yang tertua bernama Pangeran Suryaganggawangsa dijadikan raja menggantikan orang tuanya. (Ras, J.J., Hikayat Bandjar a Study in Malay Historiography, The Hague ; Martinus, 1968-333). Timbul lagi masalah mencarikan istri bagi sang raja. Sesuai dengan wasiat ayahnya, kali ini juga diperoleh melalui mimpi sang raja hanya mau beristrikan seorang gadis anak dari Dayang Diparaja. Ternyata Dayang masih gadis, oleh karena itu guna memungkinkannya melahirkan seorang puteri untuk calon permaisuri raja. Dayang dikawini patih Lambung Mangkurat, mangkubumi kerajaan. Dari perkawinan itu lahirlah seorang puteri yang kelahirannya tidak melalui cara yang lazim, melainkan dengan melalui pembedahan atas perut ibunya, dan berakibat sang ibu langsung meninggal dunia. Puteri yang lahir dinamakan Puteri Huripan, dan segera setelah dewasa dikawinkan dengan sang raja, Pangeran Suryaganggawangsa. Pasangan kerajaan ini melahirkan seorang puteri  yang dikawinkan dengan adik sang raja yang bernama Pangeran Suryawangsa. Pasangan yang belakangan ini  mempunyai seorang putera bernama Raden Carang Lalean, yang dikawinkan dengan puteri Kalungsu, puteri lain dari pasangan Pangeran Suryaganggawangsa dan Puteri Huripan. Pasangan yang terakhir inilah yang kelak menurunkan raja-raja selanjutnya, sampai kepada sultan-sultan banjar belakangan.[5]
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan kerajaan yang bercorak Indonesia Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan Pangeran Samudera cucu maharaja Sukarama. Pangeran Samudera menyingkirkan diri lebih ke hilir menuju muara sungai di wilayah sungai Kuin Bandarmasih (Banjarmasin), menyusun kekuatan untuk berperang melawan pamannya sendiri yaitu Pangeran Tumenggung. Pangeran Samudera dalam peperangan melawan pamannya itu meminta bala bantuan kepada kerajaan Demak yang saat itu sudah menjadi kerajaan Islam di pesisir Jawa Timur. Pihak kerajaan Demak bersedia memberikan bantuan dengan syarat Pangeran Samudera harus memeluk agama Islam, peperangan melawan Pangeran Tumenggung pun akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Samudera. Pusat kerajaan dipindahkan ke wilayah Kuin Banjarmasin.  Setelah memeluk agama Islam Pangeran Samudera bergelar Sultan Suriansyah.
C. Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar
Sebelum datangnya Islam, Borneo berada di bawah pengaruh Hindu-Budha. Seorang pengamat sejarah Kalimantan, Arthum Artha mencatat bahwa daerah Kutai (Kalimantan Timur) merupakan tempat mula-mula kedatangan agama Hindu. Daerah tersebut ialah Muarakaman di tepi sungai Mahakam. Disana pernah memerintah seorang raja Hindu bernama Asywarman dan anaknya Mulawarman yang memerintah sekitar tahun 400 SM. Hal itu dibuktikan oleh petilasan berupa tulisan dengan huruf pallawa seperti yang terdapat di India Selatan, Campa dan lain-lain daerah.[6]
Pengaruh Hindu tersebut merembes ke utara memasuki daerah Kiliwon (yang kemudian dikenal sebagai Kinibalu dan Brunai), keduanya terletak di Kalimantan sebelah utara. Hal ini diperkuat oleh tulisan Zunaidah Zainon (Blog Achive, 26 Mei 2006:1), bahwa replika stupa yang ditempatkan di Pusat Sejarah Brunai menjelaskan mengenai agama Hindu-Budha pada suatu masa dahulu pernah menjadi anutan penduduk Brunai. Selanjutnya dari Kalimantan Timur, pengaruh Hindu memasuki Kalimantan Selatan. Dari Kalimantan Selatan lazimnya masuk ke Kalimantan Tengah dan Barat.
Pendapat lain dikemukakan A.Hafiz Anshary AZ (2002:27). Menurutnya Islam datang ke Kalimantan jauh lebih belakangan daripada Sumatera Utara dan Aceh. Diperkirakan telah ada sejumlah muslim di wilayah itu sekitar pertengahan abad ke 15, sekitar tahun 1475-1500. Ada kemungkinan Islam masuk ke Kalimantan melalui putera raja Daha, Raden Sekar Sungsang. Dia melarikan diri ke Jawa setelah dipukul ibunya, Puteri Kabuwaringin yang dikenal pula dengan nama Puteri Kalungsu. Sekar Sungsang kemudian menikah dengan anak Juragan Petinggi yang telah mengasuhnya dan mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Panji Sekar. Anaknya itulah yang kemudian menjadi murid dan diambil menantu oleh Sunan Giri dan diberi gelar Sunan Serabut. Beberapa tahun kemudian, Raden Sekar Sungsang kembali ke Negara Dipa dan diangkat menjadi raja dengan gelar Sari Kaburungan (A Hafiz Anshary, 2002:15). Namun, perkembangan Islam mencapai kemajuan pesat setelah berdirinya kerajaan Banjar yakni setelah Pangeran Samudera memeluk Islam sekitar tahun 936 H/1526 M, yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah (Azyumardi Azra, 1994:251). Dengan demikian, tampaknya, Islam menjadi besar dan berpengaruh di saat kekuasaan berpihak kepadanya.
Kerajaan Banjar menjelma menjadi Kerajaan Islam Banjar dengan dinobatkannya Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang beragama Islam pada hari Rabu 24 September 1526. Terbentuknya Kerajaan Islam Banjar menggantikan Negara Daha yang beragama Hindu, dan merubah hukum yang berlaku dari hukum Hindu dengan hukum Islam. 
Intensitas keberagamaan masyarakat Kalimantan meningkat tajam setelah kembalinya Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812) dari Haramaian tempat beliau mengaji di sana selama 30 tahun. Ada dua kitab beliau yang menjadi pegangan masyarakat Kalimantan yakni Sabilal Muhtadin dan Kitab Perukunan yang berisi masing-masing fikih yang sangat lengkap dan pelajaran Islam dasar (tauhid dan fikih). Hampir semua orang Kalimantan mengenal kedua kitab ini bahkan terkenal pula di berbagai wilayah nusantara serta berbagai wilayah Asia Tenggara, Brunai Pattani (Thailand), Mindanao (Filifina Selatan), Singapura dan Kamboja. [7]
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hidup dalam abad ke-18 dan awal abad ke-19 dalam wilayah kerjaan Banjar yang sekarang menjadi wilayah Kalimantan Selatan. Meskipun agama Islam telah tersebar luas di kalangan masyarakat kerajaan Banjar sejak abad ke-16, tetapi sisa-sisa kepercayaan lama masih melekat dan hidup di kalangan masyarakat sampai abad ke-18 masa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjar hidup. Kepercayaan itu bukan berasal dari agama Islam bahkan bukan membahayakan iman kaum muslim yang mengerjakannya. Syekh Muhammad Arsyad berusaha keras memberantasnya, demi memurnikan akidah Islam dari faham-faham bid’ah.
D. Undang-Undang Sultan Adam
            Undang-Undang ini dikeluarkan oleh Sultan Adam Al Wasik Billah ( 1825-1857 ) setelah dia memerintah selama 10 tahun dari tahun penobatannya. Undang-Undang Islam dalam bidang politik sebagai proses perkembangan hukum Islam dalam Kerajaan Banjar. Sebagai seorang Sultan, dia dikenal sebagai Sultan yang keras dalam menjalankan ibadah dan dihormati oleh rakyat. Sultan Adam adalah putera dari Sultan Sulaiman Saidullah yang memerintah sebelumnya dan cucu dari Sultan Tahmidullah yang dikenal pula dengan gelarnya  Susuhunan Nata Alam. Ibunya Nyai Intan Sari. Sultan Adam mempunyai 5 saudara sekandung, yaitu : 1). Sultan Adam, 2). Pangeran Mangkubumi Nata, 3). Ratu Haji Musa, 4). Pangeran Perbatasasi, 5). Pangeran Hasir, dan 6). Pangeran Sungging Anum.
            Usia 25 tahun Sultan Adam dikawinkan dengan Nyai Ratu Kumala Sari dan dari perkawinan ini dia memperoleh 7 orang anak, yaitu : 1). Ratu Serip Husin Darmakesuma, 2). Ratu Serip Kesuma Negara, 3). Ratu Serip Abdullah Nata Kesuma, 4). Pangeran Asmail, 5). Pangeran Nuh, 6). Ratu Anum Mangkubumi, 7). Pangeran Prabu Anum. Selain permaisuri Nyai Ratu Kumala Sari, Sultan Adam juga mempunyai istri-istri, sesuai dengan hukum Islam boleh berisitri sampai empat orang, yaitu : 1). Nyai Endah yang melahirkan Pangeran Mataram, 2). Nyai Peah yang melahirkan Ratu Jantera Kesuma, 3). Nyai Peles yang melahirkan Pangeran Nasrudin, 4). Nyai Salamah yang melahirkan Ratu Ijah.
            Naskah asli yang ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Arab-Melayu menurut penelitian Eissenberger yang pernah menjabat Controleur van Banjarmasin en Marabahan pada tahun 1936 , tidak pernah ditemukan lagi. Eissenberger pernah menemukan sebuah naskah tulisan tangan di Martapura yang diperkirakan ditulis tahun 1880 tetapi itupun tidak dapat ditemukan lagi. Pada tahun 1885 Eissenberger menemukan naskah yang disimpan dalam arsip kantor residen Banjarmasin yang ditulis oleh Tumenggung Soeri Ronggo tahun 1885. Publikasi pertama dari naskah Undang-Undang Sultan Adam ini dilakukan oleh A.M. Joekes yang pernah menjabat sebagai Gubernur Borneo (1891-1894) di dalam majalah Indische Gids tahun 1891. Naskah itu ditulis dengan huruf latin bahasa Melayu Banjar disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Naskah ini kemudian diolah kembali oleh Komisi untuk Hukum Adat Koninklijke Instituut Voor de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlands  Indie di negeri Belanda yang kemudian dipublikasikan didalam Adatrecht Bundels, jilid XIII tahun 1917.
Selain itu naskah yang telah dipublikasikan sebagai hasil penelitian dari Eissenberger dan Komisi Hukum Adat, terdapat lagi versi Amuntai yang ditulis oleh Asisten residen Amuntai Helderman pada tanggal 16 April 1910. Perbedaan kedua macam versi ini ialah setelah pasal 30. Pasal 1 sampai 30 sama bunyinya, tetapi pasal 31 berbeda sekali samapi pasal 38 dan ditutup dengan kata-kata penutup.
Untuk mengetahui bagaimana latar belakang dan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang ini dapat kita baca pada bagian Mukaddimah dari Undang-Undang itu yang secara pendek tertulis sebagai berikut : “Pada hejrat sanat 1251 pada hari Chamis yang kalima belas dari bulan Almuharram djam pukul sembilan pada ketika itulah aku Sultan Adam memboeat Undang-undang pada sekalian ra’jatku supaja djadi sempurna agama ra’jatku dan atikad mereka itu supaja djangan djadi banyak perbantahan mereka itoe dan supaja djadi kamudahan segala hakim menghukumkan mereka itu aku harap djuga bahwa djadi baik sekalian hal mereka itu dengan sebab undang-undangku beberapa perkara “.[8]

Undang-Undang ini ditetapkan pada hari Kamis 15 Muharram 1251 Hijriah pukul 09.00 pagi oleh Sultan Adam. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah Tim dengan pimpinan oleh Sultan sendiri dan dibantu oleh anggota antara lain menantu Sultan sendiri Pangeran Syarif Hussein, Muthi H. Jamaluddin dan lain-lain. Maksud dan tujuan Undang-Undang ini dikeluarkan jelas tertulis dalam konsiderannya yaitu : - untuk menyempurnakan agama dan kepercayaan rakyat – untuk mencegah jangan sampai terjadi pertentangan rakyat, dan – untuk memudahkan bagi para hakim dalam menetapkan hukum agar rakyatnya menjadi baik .

1.                  Sistematika Undang-Undang Sultan Adam 
Perkataan undang-undang memang sudah lama dikenal oleh masyarakat dalam bahasa Banjar dan dengan demikian Sultan Adam menggunakan istilah itu dalam undang-undang yang dikeluarkannya. Sedangkan pengertian hukum dalam undang-undang ini lebih mengacu kepada dalam pengertian hukum agama dengan kata lain apa yang disebut dengan istilah hukum dalam artian kewajiban agama Islam. Undang-Undang ini mempunyai sistematika tersendiri dengan pola pikir pada saat itu, dengan sebutan Perkara untuk menyebut pengertian Pasal. 
Materi Undang-Undang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.         Masalah-masalah agama dan peribadatan, mencakup  : Pasal 1 – Masalah kepercayaan, Pasal 2- Mendirikan tempat ibadah dan sembahyang berjamaah, Pasal 20- Kewajiban melihat awal bulan Ramadhan puasa.
2.         Masalah Hukum Tata Pemerintahan, mencakup :  Pasal 3 – Kewajiban tetuha kampung, Pasal 21 – Kewajiban tetuha kampong, Pasal 31 – Kewajiban Lurah dan Mantri-mantri.
3.         Hukum Perkawinan, mencakup : Pasal 4 dan pasal 5 – Syarat nikah, Pasal 6 – Perceraian, Pasal 18 – Barambangan, Pasal 25 – Mendakwa istri berzina, Pasal 30- Perzinaan.
4.         Hukum Acara Peradilan, mencakup : Pasal 7 dan 8 – Tugas Mufti, Pasal 9-Larangan pihak yang berperkara dating pada pejabat, Pasal 10-Tugas Hakim,  Pasal 11 – Pelaksanaan putusan, Pasal 12 – Pengukuhan putusan, Pasal 13 – Kewajiban Bilal dan Kaum, Pasal 14 – Surat dakwaan, Pasal 15 – Tanggang waktu gugat menggugat, Pasal 19 – Larangan Raja-raja atau mantri-mantri campur tangan urusan perdata, kecuali ada surat dari hakim, Pasal 24 – Kewajiban hakim memeriksa perkara.
5.         Hukum Tanah, mencakup : Pasal 17 – Gadai tanah, Pasal 23 dan 26 – Masalah daluarsa, Pasal 27 -  Sewa tanah, Pasal 28 – Pengelolaan tanah, Psal 29 – Menelantarkan tanah.
6.         Peraturan Peralihan, mencakup pasal 16.

1). Masalah Agama dan Peribadatan
Tiga pasal yang disebutkan adalah yang paling penting dan menonjol menyangkut masalah agama. Suatu kewajiban bagi setiap penduduk untuk perpegang pada itiqad ahlus sunnah wal jamaah. Pasal ini sebagai reaksi adanya berbagai aliran dari sufi yang mengajarkan berbagai ajaran yang sementara pihak dinilai bertentangan dengan ahlus sunnah wal jamaah. Selanjutnya memuat kewajiban bagi Tetuha kampung untuk membuat mesjid / langgar dan ajakan untuk melaksanakan sembahyang berjamaah, sedang pada hari Jum’at diperintahkan untuk sembahyang Jum’at. Selain itu juga suatu perintah untuk menjaga / melihat bulan pada tiap awal bulan Ramadhan dan akhir Ramadhan, awal bulan haji.

2). Masalah Hukum Tata Pemerintahan
Tetuha kampung diwajibkan selalu mengadakan musyawarah untuk menghindarkan terjadinya perselisihan dan perbantahan. Disini prinsip musyawarah sangat ditekankan. Selanjutnya menyebutkan beberapa jabatan dalam struktur pemerintahan dalam jaman Sultan Adam, seperti : Lalawangan, Lurah, Pambakal dan Mantri. Mantri merupakan pangkat untuk orang-orang terkemuka dan berjasa diantaranya ada yang mempunyai daerah kekuasaan, sama dengan Lalawangan. Suatu tata cara pelaksanaan pemerintahan yang diwajibkan pada Lalawangan, Lurah dan Mantri selalu mengadakan musyawarah dan mencari kemufakatan dalam setiap persoalan. Pada bagian ini terdapat pembagian wewenang antara pejabat pemerintah dan tugas peradilan, bahkan harus menguatkan putusan pengadilan tersebut. Jadi ada semacam koordinasi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.

3). Hukum perkawinan
Para pejabat yang berwenang untuk masalah yang menyangkut perkawinan agama, yaitu : Mufti : Hakim tertinggi pengawas pengadilan umum, dan Penghulu  : Hakim yang lebih rendah yang mendapat piagam atau cap dari Sultan. Disamping hakim ada lagi jabatan yang disebut Qadhi, yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berlaku dengan wajar. Perbedaan Qadhi dan Penghulu adalah, bahwa Qadhi menetapkan hukum bila terjadi sengketa yang kemudian berkembang menjadi pelaksana peradilan Islam. Pasal-pasal pada bagian ini menyangkut tata cara nikah, larangan nikah bagi yang tidak bermazhab Syafei, mengenal pembatalan perkawinan, masalah orang yang “barambangan“ ( konflik rumah tangga : pisah ranjang/tidak saling tegur sapa untuk beberapa waktu ), masalah suami yang menuduh istrinya berzina, dan kewajiban melapor kalau ada orang yang berzina.

4). Hukum Acara/Peradilan
Pasal-pasal pada bagian ini menjelaskan tentang larangan bagi seorang Mufti untuk memberi fatwa kepada seseorang yang sedang berperkara, begitu pula sebaliknya larangan bagi orang tersebut untuk meminta fatwa dari Mufti. Pasal ini menjamin kebebasan peradilan, dimana hakim tertinggi pun tidak diperkenankan turut campur tangan dalam penyelesaian suatu perkara.
Juga larangan bagi pejabat pemerintah, seperti : Raja, Mantri, Pembakal ataupun Punakawan untuk mencampuri urusan orang yang berperkara. Suatu kewajiban hakim apabila telah selesai melakukan pemeriksaan perkara dan bersoal jawab dengan saksi-saksi, diperintahkan untuk mufakat terlebih dahulu dengan Khalifah dan Lurah sebelum putusan dijatuhkan. Segala putusan yang dijatuhkan harus diserahkan kepada Mangkubumi untuk memperoleh cap kerajaan.
Pasal 11 : “ Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe, bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tjap didalam papoetoesan itoe “
Pasal 12 : “ Siapa-siapa yang kalah bahoekoem maka anggan ia daripada kalahnya itoe, serahkan kajah ading papoetoesannya itoe jang mengoeroeskannya”  Para Bilal dan Kaum merupakan bagian dari aparat pelaksana hukum, karena kedua jabatan ini dapat diminta oleh hakim untuk membantu melaksanakan keputusan pengadilan yang bertindak atas nama Sultan. Surat gugatan yang harus diserahkan dulu kepada tergugat dan tergugat harus menjawabnya, maka hakim berhak untuk memutuskan perkaranya.

5). Hukum Tanah
Pasal-pasal dalam bagian ini adalah : Setiap transaksi diharuskan untuk didaftar atau setidak-tidaknya diketahui oleh hakim dan ada suatu tanda pendaftaran tertulis yang dibuat oleh hakim. Setiap orang mejual sawah / kebun sudah lebih dari 20 tahun, kemudian terjadi gugatan dengan alasan seperti, bahwa sawah itu harta warisan yang belum dibagi, gugatan itu tidak berlaku. Disini digariskan adanya tenggang waktu daluwarsa dalam berbagai transaksi tanah yaitu selama 20 tahun, baik pemilik asal maupun pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali tanah yang dijualnya. Tidak ada larangan bagi setiap golongan untuk menggarap tanah. Disini tidak dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum.  Tanah bekas ladang yang ditinggalkan orang kira-kira dua musim atau lebih akan kembali jadi padang tidak ada pemiliknya, kalau di tanah tersebut tidak ada tanda-tanda hak milik berupa tanaman atau galangan. Biasanya tanah yang berasal dari “ tanah wawaran “.

6). Ketentuan Peralihan
Sebagaimana peraturan-peraturan jaman sekarang, Undang-Undang Sultan Adam ini mengenal semacam peraturan peralihan, meskipun tempatnya tidak pada bagian akhir, yang dalam Undang-Undang ini dalam pasal 16, yang berbunyi : ” Mana-mana segala perkara yang dahulu dari zamanku tiada kubariakan dibabak lagi dan mana-mana segala perkara pada zamanku nyata salahnya boleh aja dibabak dibujurkan oleh Hakim ”

2.                  Penjelasan Undang-Undang Sultan Adam Pasal demi Pasal
Perkara 1 : “ Adapoen perkara jang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’jatku laki-laki dan bini-bini beratikad dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada seorang beratikad dengan atikad ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang beratikad lain daripada atikad soenat waldjoemaah koesoeroeh bapadah kapada hakimnja, lamoen banar salah atikadnja itoe koesoeroehkan hakim itu menobatkan dan mangajadjari atikad jang betoel lamoen anggan inja dari pada toebat bapadah hakim itoe kajah diakoe “.  
Pasal ini menetapkan kepada sekalian penduduk seluruh Kerajaan Banjar agar berpegang pada itiqad Ahlussunah wal Jamaah, berdasakan mazhab Syafei seperti yang diajarkan oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan al Maturidi. Pasal ini sebagai reaksi dari berbagai aliran sufi yang mengajarkan berbagai ajaran yang bertentangan atau menyimpang dari paham Ahlussunah wal Jamaah, seperti ajaran Wahdatul Wujud yang pernah menghebohkan Kerajaan Banjar yang dibawa oleh Syekh Abdul Hamid Abulung. Kalau ada orang yang menganut paham yang bertentangan dengan paham Ahlussunah wal Jamaah supaya segera dilaporkan kepada Hakim dan Hakim wajib membetulkan itiqadnya dan seandainya orang tersebut tidak mau bertobat, supaya dilaporkan kepada Sultan. 
Perkara 2 : “ Tiap-tiap Tatoeha kampoeng baoelah langgar soepaja didirikan mareka itoe sembahjang bardjamaah pada tiap-tiap waktoe dengan sakalian anak boehnja dan koesoeroeh mareka itoe mambawai anak-anak boeahnja sembahjang bardjamaah dan sembahjang djoemaat pada tiap djoemaat lamoen ada ada njang anggan padahkan kajah diakoe “.
Pasal ini memuat kewajiban bagi Tetuha Kampung membuat langgar atau surau tempat sholat berjamaah dan diwajibkan bagi setiap warga kampung untuk melaksanakan Sholat Jum’at berjamaah, dan bagi mereka yang ingkar dilaporkan kepada Sultan. Pasal ini menunjukkan bagaimana pelaksanaan hukum Islam itu dijalankan,  sebab Sultan juga campur tangan dalam hal masalah warga kampung yang ingkar Sholat hari Jum’at. Perintah kerajaan untuk melaksanakan Sholat Jum’at ini memang sejak jaman Sultan Tahmidillah bin Sultan Tanjidillah. Sanksi bagi mereka yang tidak sholat Jum’at itu adalah denda. Masalah denda ini cukup berat hingga pernah dipermasalahkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dengan guru beliau Syekh Muhammad Sulaiman al Kurdi di Madinah sewaktu menuntut ilmu agama di sana. Hasil pembicaraan itu melahirkan sebuah kitab yang bernama “ Fatawa “.
Perkara 3 : “ Tiap-tiap Tetoeha Kampoeng koesoeroehkan mamadahi anak boeahnja dengan bermoefakat, astamiwah antara barkarabat soepaja djangan djadi banjak bitjara dan pembantahan “. Suatu kewajiban juga bagi Tetuha kampung untuk saling menasehati khususnya keluarganya dan anak buahnya agar selalu bermufakat dan bermusyawarah supaya jangan terjadi perselisihan dan percekcokan. Sangat jelas disini Sultan sangat menekankan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Perkara 4 : “ Siapa-siapa jang handak nikah kepada Hakim koesoeroeh orang jang terlebih adil didalam kampoeng itoe mambawanja kepada hakim sekoerangnja doea orang lamoen kadada saparti itoe djangan dinikahkan “.  
Pasal ini mengatur masalah perkawinan. Barangsiapa yang ingin nikah harus datang kepada hakim dengan membawa dua orang dari warga kampungnya yang dianggap adil. Kalau tidak ditemukan persyaratan itu maka tidak dapat dinikahkan. Kedua orang yang adil itu fungsinya menjadi saksi sesuai dengan ketentuan Hukum Islam. Dalam kerajaan Banjar terdapat jabatan yang mengatur masalah perkawinan dan juga berwenang dalam masalah pengadilan. Pada masa pemerintahan Sultan Adam, jabatan Mufti : Hakim tertinggi, adalah pengawas pengadilan umum, Qadhi adalah pelaksana hukuman dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar. Penghulu adalah Hakim yang kebanyakan, mendapat cap atau piagam dari Sultan. Penghulu adalah petugas yang menjalankan  pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam. Pada waktu itu Penghulu juga merupakan hakim pada tingkat rendah.
Perkara 5 : “ Tiada koebarikan sakalan orang manikahkan perempoean dengan taklik kapada moejahab jang lain dari pada jang moejahab Sjafei maka siapa jang sangat berhadjatkan bataklid pada manikahkan peremoean itoe bapadah kajah diakoe dahoeloe “.
Pasal ini juga mengatur tentang masalah perkawinan. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh berlainan mazhab kecuali hanya mazhab Syafei. Kalau juga terjadi sebelumnya harus dilaporkan kepada Sultan. Dalam hal ini jelas bahwa mazhab Syafei adalah mazhab kerajaan dan penyimpangan dari mazab Syafei berarti tidak sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan.
Perkara 6 : “ Mana-mana perempoean jang hendak minta pasahkan nikahnja lawan lakinja maka hakim koesoeroeh mamariksa apa-apa ekral bini-bini itoe padahakan kajah diakoe. “
Pasal ini masih mengatur masalah perkawinan. Pasal ini menyebutkan bahwa bagi setiap perempuan yang ingin membatalkan nikahnya dengan suaminya, maka diperintahkan kepada hakim untuk memeriksa apa ekral perempuan itu dan melaporkan kepada Sultan.
Perkara 7 : “ Tiada koeberiakan moefti membari pidatoe hendak berhoekoem atau orang jang dalam tangan berhoekoem dan tiada koebariakan orang itoe maminta pitoea hakim hanja djoea mamintakan pitoeanja “.
Mufti adalah hakim tertinggi selaku pengawas peradilan umum. Meskipun demikian dia dilarang untuk memberikan fatwa perkara atau orang yang sedang berperkara, begitu pula bagi orang yang sedang berperkara dilarang meminta fatwa kepada Mufti dan hanya hakim yang dibolehkan untuk meminta fatwa kepada mufti. Jadi mufti hanya bisa memberikan fatwa kalau diminta oleh hakim yang sedang memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Perkara 8 : “ Siapa-siapa jang datang kapada Moefti mamadahkan soeroehankoe meminta pitoea, tiada koebariakan moefti mambari pitoea lamoen tiada lawan tjapkoe “.
Pasal ini sebagai kelanjutan dari pasal sebelumnya, pasal ini memperingatkan kepada Mufti, bahwa Mufti dilarang membawa kepada seseorang dengan meminta fatwa Sultan, kecuali dia membawa tanda tangan Sultan dengan cap kerajaan.
Perkara 9 : “ Siapa-siapa jang berhoekoem tiada koebariakan masoek pada radja-radja atau mantra atau pembakal atau panakawan “.
Pasal ini memuat larangan bagi pejabat pemerintah Kerajaan seperti, para raja, mantra, pambakal atau panakawan untuk mencampuri urusan orang-orang yang saling berperkara. Tentang panakawan disini adalah orang-orang yang menjadi suruhan raja atau kepala-kepala dibebaskan dari segala pekerjaan negeri dan dari segala pembayaran pajak.
Perkara 10 : “Sekalian hakim lamoen soedah habis periksanja kedoa pihak perkara da’wa dan djawab dan saksi djaerah koesoeroehkan moefakat mamoetoeskan itoe lawan chalifahnja dan toean loerahnja“.
Pasal ini memuat kewajiban bagi para hakim setelah menyelesaikan pemeriksaan perkara dakwaan dan jawaban serta saksi-saksi diperintahkan untuk mufakat dengan khalifah dan lurah. System peradilan seperti ini memberi gambaran bahwa system peradilan pada masa Sultan Adam mirip dengan Peradilan di negeri Anglo Saxon yang mengenal system Yuris.
Perkara 11 : “ Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tiap didalam papoetoesan itoe “.  
Menurut pasal ini bilamana keputusan sudah selesai harus dibawa lebih dahulu kepada ading-ading. Ading disini yaitu adik, maksudnya adik Sultan yang saat itu menjabat sebagai Mangkubumi sebagai pemegang wewenang pelaksana Administrasi Tertinggi.
Perkara 12 : ” Siapa-siapa jang kalah behoekoem maka anggan ia dari pada kalahnja itoe sarahkan kajah ading papoetoesannja itoe ading jang mengaraskannja “.
Pasal ini menyebutkan barangsiapa yang kalah dalam berperkara dan tidak mau menerima atas kekalahannya itu, putusannya itu diserahkan pada Mangkubumi untuk mengatakannya.
Perkara 13 : “ Sekalian bilal-bilal dan kaoem-kaoem ada hakim mengoeroes bitjara pahoekoeman djangan ada jang anggan karena itoe perintah joea “.
Pasal ini menjelaskan bahwa para bilal dan kaum diberi tugas oleh hakim untuk menyelesaikan masalah suatu perkara, mereka tidak boleh menolak. Para bilal dan kaum pada waktu kerajaan Banjar merupakan bagian dari aparat pelaksana hukum karena kedua jabatan itu dapat diminta oleh hakim untuk membantu melaksanakan keputusan Pengadilan yang bertindak atas nama Sultan.
Perkara 14 : “ Kalau ada orang jang naik hoekoeman kajah hakim endada lawan soerat da’wa dan djawab tiada koebariakan hakim mambitjacarakannja “.  
Menurut pasal ini bilamana ada orang yang hendak berperkara kepada hakim harus dengan surat gugatan dan jawaban tertulis bila tidak demikian hakim tidak dibolehkan untuk memeriksanya. Ini merupakan ketentuan yang lebih maju didalam hukum acara bilamana dibandingkan dengan perkara di muka hakim Gubernemen Belanda yang waktu itu dibolehkan gugatan secara lisan, sedangkan disini diisyaratkan dengan tertulis.
Perkara 15 : “ Lamoen ada menda’wi mandjoeloeng soerat da’wi kajah hakim koesoeroeh djoeloeng menda’wi alaihi maka lamoen soerat anggan menda’wi alaihi daripada mendjawab da’wi  itoe pada hal sampai lima belas hari anggannja itoe koesoeroehkan  hakim memoetoeskan hoekoemnja dengan woekoelnja “.  
Pasal ini menjelaskan bahwa suatu gugatan yang masuk harus diserahkan dulu kepada tergugat  dan tergugat harus menjawabnya. Apabila dalam waktu 15 hari ia belum mengajukan jawaban maka Hakim diperintahkan untuk memutuskan perkaranya.
Perkara 16 : “ Mana-mana sagala perkara jang dahoeloe dari pada zamankoe tiada koebariakan dibabak dan mana-mana sagala perkara zamankoe lamoen njata salahnja adja dibabak diboejoerakan oleh hakim “.
Pasal ini menjelaskan bahwa segala peraturan dan perundangan yang berlaku sejak dahulu sebelum Sultan Adam tetap diberlakukan sampai saat itu tidak dibenarkan untuk diubah, dan sebaliknya segala peraturan sejak zaman Sultan Adam yang ternyata salah, bertentangan terutama dengan hukum syariat Islam hakim boleh memperbaikinya.
Perkara 17 : “ Siapa-siapa jang baisi tanah pahoemaan atau doekoeh atau djenis milik lain daripada itoe jang bersanda pada waktoe ini atau handak mandjandakan jang terdjoel atau handak mandjoeal atau tersewakan atau handak mejewakan atau jang terkadoeakan atau handak mengadoeakan atau jang terindjamkan atau handak maindjamkan dating kapada hakim bersaksi dan hakim itoe koesoeroeh baoelah soerah besar milik dan hakim soerah besar tempat sagala tarich itoe soepadja digadoeh oleh Hakim-Hakim ganti berganti dan apabila taboes manaboes dating djoea kapada Hakim boelh mamboeang kadoeanja tarich itoe maka ampoenja milik dan orang saorang orangnja mambari kapada hakim lima doeit “.
Pasal ini mengatur tentang masalah tanah yang selengkapnya berbunyi : Siapa-siapa yang mempunyai sawah atau tanah kering atau jenis hak milik lainnya yang digadaikan atau hendak menjual disewakan atau hendak menyewakan, meminjamkan dengan syarat bagi hasil (mengadoeakan) harus melapor kepada Hakim dengan membawa saksi-saksi, dan hakim membuatkan surat pengesahannya dua rangkap, satu rangkap bagi pemilik asal dan satu rangkap untuk pihak kedua. Hakim harus membuat buku besar yang berisi tentang masalah-masalah seperti itu supaya dapat diketahui bagi hakim selanjutnya ganti berganti. Biaya untuk pembuatan surat menyuratnya sebesar lima duit. Disini terlihat adanya aturan yang jelas karena semua harus didaftar pada Hakim
Perkara 18 : “  Mana-mana orang jang barambangan laki-laki sabab perbantahan ataoe lainnja tiada koebariakan itoe lakinja memegang bininja hanja koesoeroeh segala barkabaikan maka hakim serta kerabat kedoea pihak koesoeroeh mamadahi dan mambaikan dan apa-apa kasalahan kedoea pihak dan apabila anggan manoeroet hoekoem dan adat serta hadjat minta baikan pada hal perempoean itoe keras tiada maoe berkebaikan lagi maka padahakan kajah diakoe “.  
Pasal ini mengatur masalah perkawinan dan secara lengkapnya berbunyi : Siapa-siapa suami istri dalam pertengkaran dan pisah tidur ( barambangan ), suaminya jangan-jangan mempersulit posisi istrinya dengan cara tidak berkumpul tetapi juga tidak dicerai, dan pihak keluarganya dan hakim berkewajiban merukunkan kembali suami istri tersebut, dan apabila keduanya tidak mau, maka masalahnya harus dilaporkan kepada Sultan untuk menyelesaikan tingkat akhir.
Pasal 19 : “ Tiada koebariakan orang manjarahkan batagihan kepada radja-radja ataoe mantra-mantri atawa lamoen tiada soerat hakim “.
Pasal ini mengatur hukum peradilan dan hukum acara, seseorang dilarang untuk melakukan penagihan piutang kepada pejabat-pejabat kerajaan tanpa surat perintah dari hakim. Dalam hal ini terlihat dengan jelas bahwa kerajaan Banjar tidak membenarkan perlakuan sewenang-wenang kalau tidak ada surat perintah tertulis  dari hakim, hal ini berlaku untuk semua orang termasuk anak-anak raja atau para bangsawan.
Perkara 20 : “  Sekalian banoea tiap-tiap tetoeha kampoeng koesoeroehakan mendjaga boelan pada tiap-tiap awal boelan Ramadhan dan achirnja dan tiap-tiap boelan hadji dan awal boelan moeloed maka siapa-siapa jang malihat boelan lakas-lakas bapadah kapada hakimnja supadja hakimnja lakas-lakas padadah kajah diakoe maka nama banoca jang dilaloeinja ilir itoe ikam kabari samoeanja “.  
Pasal ini diwajibkan setiap kampung untuk menjaga dan melihat bulan pada tiap-tiap awal bulan Ramadhan, akhir Ramadhan, pada tiap-tiap awan bulan Zulhijjah ( bulan Haji ). Pada tiap-tiap awal bulan Rabi’ul Awwal  ( bulan Maulid Nabi ) dan bilamana melihat sesegeralah melapor pada Hakim dan Hakim melapor pada Sultan agar dapat diumumkan keseluruh kerajaan. Pasal ini mengatur masalah yang bersangkutan dengan peribadatan khususnya ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Dalam hal ini kerajaan Banjar memegang teguh prinsip ru’yatul hilal dalam penetapan awal bulan Ramadhan, Idhul Fitri dan Idhul Adha adalah dasar yang diamalkan Rasulullah SAW dan khulafaur Rasyidin dan yang dipegangi oleh seluruh ulama  Madzahibil Arba’ah. Sedangkan dasar hisaf falak untuk menetapkan tiga hal tersebut adalah dasar yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah SAW dan khulafaur Rasyidin serta diperselisihkan keabsahannya dikalangan para ulama.
Perkara 21 : “ TIap-tiap kampoeng kaloe ada perbantahan isi kampoengnja koesoeroehkan mambitjarakan dan mamutoeskan moefakat lawan jang toeha-toeha kampoengnja lamoen tiada djoea dapat mambidjarakan ikam bawa kapada hakim “.
Menurut pasal ini bilamana terjadi sengketa di dalam kampungnya maka diperintahkan untuk mendamaikan ( mamatut ) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada Hakim. Dalam masyarakat Banjar sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi ‘ mematut yaitu mendamaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa, seperti kasus pelanggaran hokum seperti perkelahian. Jadi terdapat lembaga hukum secara tradisi dalam menyelesaikan persengketaan untuk dirukunkan kembali, sehingga tidak terjadi timbulnya perasaan dendam antara kedua belah pihak. ‘ Lembaga bapatut ‘  ini dihadiri oleh kedua belah pihak dan seluruh kerabat keluarga terdekat yang bersengketa yang dipimpin oleh tetuha kampung. Kalau tidak terdapat penyelesaian barulah dibawa kepada Hakim, kalau ini yang terjadi maka kerukunan bermasyarakat membahayakan sebab perasaan dendam tidak terhapuskan. Pasal ini menunjukkan bahwa kerajaan Banjar menerapkan hukum Islam sesuai dengan ketentuan dalam Al Qur’an, surat al Hujarat ayat 10, yang berbunyi : “ Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat selamat “.  
Perkara 22 : “  Sekalian orang jang berhoeboengan jang telah dihoekoemkan oleh hakim-hakim tida koebariakan lari kepada siapa-siapa dan tiada koebariakan siapa-siapa jang mengeia-i orang jang dihoekoemkan hakim itoe mana-mana orang jang enggan dari pada perintahan ini maka lari djoea ia kapada siapa-siapa akoe hoekoenkan “.  
Pasal ini melarang bagi orang yang telah divonis oleh Hakim untuk meminta bantuan hukum kepada orang lain atau menggunakan kenalan atau kerabat dekat dengan kerajaan untuk meringankan atau membebaskannya.
Perkara 23 : “  Sekalian orang jang telah berdjoeal tanah pahoemaan ataoe doekoeh ataoe lain-lainnja pada zaman dahoeloe sama ada soedah tardjoealnja kalian-lain banda itoe ataoe tatap adja didalam tangannja maka manoentoet karabatnja nang mandjoeal itoe menda’wi barserikat lawan diija lagi baloem dibagi banda itoe dan djikalaoe moefakat jang manda’wi barserikat dangan jang mandjoeal itoe sekailpun apdahal lawannja banda jang didalam tangan jang manoekar itoe doea poeloeh tahoen ataoe lebih maka anjar menda’wi pada hal hidoep kadoeanja lagi hadir kadoeanja didalam masanja jang tarsebut itoe didalam tangan jang manoekar maka tiada koebariakan  jang mandjoeal itoe atoea jang menda’wa barserikat itoe manoentoet kapada hakim-hakim dan sagala hakim-hakim tiada djoea koebariakan mambitjarakan djoea sabab karena lawas “.
Menurut ketentuan pasal ini bahwa setiap yang menjual sawah atau kebun dan lainnya pada masa lampau, baik barang yang dijual itu tetap berada di tangan si pembeli maupun sudah berpindah tangan, timbul tuntutan dari salah seorang keluarga bahwa barang yang dijual itu adalah milik bersama atau harta warisan yang belum dibagi paraid, pada terjualnya lebih dari 20 tahun, pada masa hidupnya ia bersama-sama tetapi baru saja dia menggugat maka tuntutan itu tidak berlaku dan para hakim dilarang memeriksa perkara itu.
Perkara 24 : “ Ikam sekalian hakim-hakim kaloe ada orang jang mandjoeloeng da’wa dan didjawabnja ikam oelahkan tarieh tatkala ia mandjoeloeng da’wa dan didjawabnya itoe maka mana-mana jang berkahandak kapada saksi ikam pinta saksinja itoe didalam sakali hadja inja jang boleh maadakan saksi itoe didalam masa saboelan adja inja maingat-ingatan saksinja maka kalaoe soedah habis sagala bitjaranja jang masoek kapada hakim ikam poetoeskan adja djikalaoe maadaakan poelang saksi jang lain daripada jang diseboetnja dahoeloe djangan ikam tarima lagi “.
Ada dua hal yang diatur dalam pasal ini. Yang pertama adalah kewajiban para Hakim untuk menerima gugatan dan jawaban, sedangkan yang kedua adalah mengenai saksi dalam suatu perkara. Barangsiapa dalam satu perkara mengajukan saksi, maka ia diberi satu bulan untuk mengingat-ingat siapa saksi yang akan diajukannya, tetapi kalau lewat maka hakim dapat memutuskan perkaranya. Bilamana yang bersangkutan akan mengajukan saksi berbeda dengan saksi terdahulu, maka saksi tersebut harus ditolak oleh hakim.
Perkara 25 :  ” Mana-mana laki-laki jang babini boedjang kamudian maka  manda’wa lakinja itoe akan bininja tiada berdara serta diwantar-wantarkannja kapada sengah manoesia jang djadi aib perempoean itoe jaitoe bapadah kajah diakoe karena inja menda’wa dangan tiada saksi “.
Pasal ini mengatur tentang masalah seorang laki-laki yang kawin dengan perawan akan tetapi menuduh istrinya tidak perawan lagi dan menyebar luaskannya ( mewantar-wantarkannja ) kepada orang lain sehingga istri menjadi malu atau aib, supaya dilaporkan kepada Sultan karena ia menuduh tanpa saksi. Sultan akan menetapkan hukuman apa yang akan dijatuhkan padanya.
Perkara 26 : “ Mana-mana pahoemaan dan doekoeh jang soedah didjoeal ataoe soedah dibagi oleh orang toeanja ataoe oleh hakim pada hal masyhoer wantar didjoeal toekarnja ataoe bahagiannja itoe apalagi djika ada saksi karabat ataoe pasah sakalipun maka soedah sepoeloeh tahoen atawa labih maka tiada boeleh anak tjoetjoenja dan karabatnja mambabak manoentoet kapada hakim kamoedian daripada soedah mati jang mandjoeal atawa jang manarima bahagi “. 
Dalam pasal ini apabila sawah atau kebun yang sudah dijual atau sudah dibagi oleh orang tuanya dan umumnya mengetahuinya apalagi ada saksi dari kerabatnya sendiri, anak cucunya tidak diperkenankan membatalkan sawah atau kebun yang telah dijual atau telah dibagi itu.
Perkara 27 : “ Siapa-siapa jang menang bahoekoem tiada boleh orang jang manang itoe manoentoet sewa tanahnja itoe pada jang kalahbahoekoem salama parhoemaan didalam tangannja itoe adanja “.
Dalam pasal ini jelas barang siapa yang menang dalam perkara sengketa tanah, yang menang tidak boleh menuntut sewa tanah kepada yang kalah. Jadi maksudnya meskipun tanah itu berapa tahun pun berada ditangan pengusaha yang tidak berhak, tetapi apabila tanah itu kembali kepada yang berhak sebagai akibat menang perkara, si pemenang tidak boleh menuntut sewa tanah kepada yang kalah selama tanah itu dikuasai oleh yang kalah.
Pasal-pasal 23, 26 dan 27 meskipun tidak dicantumkan hukumnya dalam kitab fiqih, namun agama Islam memberikan wewenang kepada setiap penguasa atau kerajaan untuk menentukan yang mana yang baik demi terjaminnya keadilan dan ketertiban.
Perkara 28 : “ Siapa-siapa jang handak bahoema didalam watas Halabioe ataoe Nagara ataoe lainnja maka jaitoe boeleh orang mangakoe watas jang tiada dioesahainja dan pahoemaannja dan tiada boeleh orang maharoe biroe “.  
Pasal ini menjelaskan kebebasan bagi setiap warga dalam wilayah kerajaan untuk mengerjakan sawah khususnya di daerah Alabio dan Nagara dan lainnya, tidak diperbolehkan penduduk lainnya untuk melarangnya dan tidak boleh seseorang mengakui batas sebidang tanah yang tidak dikerjakannya. Dari pasal ini dapat dilihat bahwa pada waktu dahulu khususnya pada masa kerajaan tidak ada keutamaan penduduk di suatu daerah tertentu atas tanah yang didalam wilayahnya sehingga ia dapat melarang orang dari daerah lain yang akan mengerjakan tanah itu, hal ini juga menunjukkan bahwa di daerah ini khususnya wilayah kerajaan Banjar tidak dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum.
Perkara 29 : “ Mana-mana padang jang ditinggalkan orang kira-kira doea moesim ataoe lebih maka kembali mendjadi padang poelang dan tiada tanda milik djadi tatanamannja atawa galangan ataoe sungai jang manghidoepi tanahnja itoe maka diganai pula oleh jang lainnja itoe sarta ditetapinja maka tiada koebariakan orang jang dahoeloe itoe manghandaki lagi atas manoentoet kapada hakim-hakim “.
Pasal ini mengatur tanah bekas ladang yang ditinggalkan oleh penggarapnya selama dua tahun atau lebih, kembali menjadi padang atau tanah yang tidak ada yang memilikinya dengan syarat tidak ada bekas-bekas tanda yang memilikinya seperti “ galangan “ atau tanggul, sungai yang digali untuk mengairi sawah itu. Pasal ini mengatur kebiasaan penduduk yang mengerjakan tanah secara berpindah (shifting cultivation)  dan kemungkinan membuka tanah yang belum pernah dibuka yang lebih subur. Pasal 28 dan 29 tentang pengelolaan tanah dan menelantarkan tanah diatur sesuai dengan hukum Islam yang dalam ilmu Fiqih disebut “ hakut tahjir  “, tetapi menurut  Adijani Al Alabi disebut “Ihyanul Mawat“ yaitu menghidupkan tanah yang sudah mati. 
Pasal-pasal yang menyangkut tentang pola pengusaan, pemilikkan dan penggunaan tanah tertuang dalam pasal 17, 23, 26, 27, 28 dan 29 dari Undang-Undang Sultan Adam. Meskipun Undang-Undang Sultan Adam tersebut sudah dihapus sejak Belanda menguasai kerajaan Banjar tahun 1860, tetapi sampai sekarang pola penguasaan, pemilikkan dan pola penggunaan tanah seperti tercantum dalam pasal-pasal itu tetap berlaku secara tradisional dikalangan masyarakat Banjar. Segala permasalahan yang timbul dari akibat pengusaan, pemilikkan dan penggunaan tanah ini selalu hukum atau undang-undang adalah merupakan jalan terakhir yang ditempuh.  Dalam hal ini peranan Kepala Desa atau Pembakal sangat besar, Pembakal yang menandatangani segel tanah yang sampai sekarang merupakan bukti yang dipercaya dalam masalah pemilikkan tanah.
Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa hampir tidak menemukan permasalahan dengan adat yang menyangkut penguasaan, pemilikkan dan penggunaan tanah ( Land Tenure ) di desa. Segel tanah yang merupakan bukti pemilikkan tanah secara adat, disamping ditandatangani Pembakal juga dikuatkan oleh Camat sebagai Kepala Pemerintahan Kecamatan. Sebagai bukti hak milik secara adat sudah sah. Untuk hal-hal yang bersifat resmi bukti hak milik secara adat sudah tidak berlaku, karena berdasarkan UUPA tersebut harus berbentuk sertifikat tanah yang dibuat oleh Kepala Badan Pertanahan Kabupaten.
Setelah kerajaan Banjar kalah dalam Perang Banjar ( 1859-1905 ) melawan kolonialisme Belanda, Belanda menghapuskan kerajaan Banjar. Dengan dihapusnya kerajaan Banjar tersebut maka Undang-Undang Sultan Adam juga tidak berlaku lagi, tetapi sampai sekarang pola penguasaan, pemilikkan dan penggunaan tanah (Land Tenure ) masih hidup dikalangan masyarakat dan dihormati secara tradisi.
Perkara 30 : “ Mana-mana orang kababaran jang tiada mangakoe jaitoe padahakan kajah diakoe “. [9]
Pasal ini mengatur tentang wanita yang melahirkan tanpa suami dan tidak mengaku bahwa dia berzina, harus dilaporkan pada Sultan untuk menetapkan jenis hukumannya. Melahirkan kababaran juga diartikan dengan melahirkan secara paksa atau digugurkan sebagai akibat hubungan tanpa nikah atau akibat kumpul kebo.
Perkara 31 : “ Mana-mana Loerah dan Mantri-mantri Oeloe Soengai dan lainnja tiada koebariakan masoek bitjara dan mangganggoe kepada sagala perintah jang koetentoekan kapada sakialn Hakim-hakim dan chalifahnja dan toean Loerahnja tiada koebariakan loempat dan ganggoe kapada sakalian perintah jang koetentoekan kapada sagala Lalawangan dan Loerah dan Mantrinja maka adalah perintah jang koetentoekan kapada sekalian hakim itoe mana-mana sakalian bitjara hakim menghoekoem pembantahannja sakalian ra’jatkoe dan perintah jang koetentoekan kapada sakalian ra’jatkoe moefakat dan misiwarat Hakim-hakim dan Lalawangan dan Loerah Mantrinja koesoeroeh mengeraskan hoekoem Allah Ta’ala jang dihoekoemkan oleh Hakim jaitoe sakalian Lalawangan dan Loerahnja dan Mantrinja koesoeroeh mengaraskan hoekoem itoe djakalaoe berkata sesorang kapada seoempama Lalawangan oeloen ridha bernadzar adja adja doea real setali tiba-tiba orang sampai batagih nadzar dan batin maka taloempat orang itoe ditagih wang panahoernja itoe tiada halal karena naszar itoe pasid tiada sah karena katiadaan aldzam jang mawajibkan mambayar dia dan djika diperoleh sjaratnja sakalipoen jaitoe tiada dikanai sagala gawi dan poepoe pinta dan tiada dikanai gawi dan poepoe pinta dan tiada hiaroe biroe milik oeloen wadjib atas oleloen maatoeri kapada tiap-tiap moesim doea rela satali maka apabila diperoeleh sjaratnja itoe wadjiblah atas mambajar dan tiada halal pambajarannja. Sakalian kapala djangan ada jang menjalahi apabila ikam tiada kawa manangat lakas-lakas bapadah kajah diakoe “.
Pasal ini merupakan pasal terakhir dari versi Martapura, sedangkan versi Amuntai bersambung beberapa pasal lagi sampai pasal 38. Pada pasal ini dapat dipelajari beberapa hal tentang kerajaan Banjar, ialah nama-nama pejabat kerajaan, petunjuk pelaksanaan menjalankan perintah kerajaan, tentang kewajiban pembayaran nadzar dan baktin, tentang kewajiban mematuhi fatwa Mufti H. Jamaluddin.

Nama-nama pejabat kerajaan yang disebutkan dalam Undang-Undang ini ialah :
1)         Pembakal adalah Kepala dari sebuah kampung yang meliputi beberapa buah anak kampung.
2)         Lurah adalah pembantu Lalawangan yang mengamati pekerjaan beberapa Pembakal dan dalam melaksanakan tugasnya Lurah dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
3)         Lalawangan adalah kepala distrik yang membawahi beberapa Lurah.
4)         Mantri  adalah pangkat kehormatan untuk orang-orang yang berjasa kepada kerajaan. Beberapa diantara Mantri itu juga menjabat sebagai Lalawangan.

Petunjuk pelaksanaan untuk menjalankan tugas perintah dari Kerajaan, dalam Pasal ini disebutkan bahwa :
a.         Pejabat-pejabat kerajaan tidak boleh mencampuri urusan peradilan. Tugas peradilan adalah menetapkan hukum dalam beberapa perkara. Dalam hal ini terlihat adanya semacam jaminan kebebasan peradilan seperti pada masa sekarang.
b.         Pejabat-pejabat kerajaan harus mendukung dan menguatkan apa-apa yang telah menjadi keputusan Hakim.
Tugas tersebut didasarkan atas permusyawaratan ( moefakat dan misiwarat ). Dalam hal ini terlihat adanya semacam koordinasi pelaksanaan tugas seperti masa sekarang. Dalam hal pelaksanaan tugas kerajaan ini terlihat adanya pembagian tugas dan wewenang antara pejabat-pejabat kerajaan dan tugas peradilan yang dilakukan oleh para Hakim. Pejabat kerajaan tidak boleh mencampuri  urusan peradilan bahkan harus menguatkan putusan pengadilan itu.  Pasal ini mengatur pula tentang kewajiban seorang warga kerajaan.  Kewajiban itu ada tiga jenis berdasarkan pasal ini yaitu : Kewajiban membayar nadzar dan baktin dan kewajiban berbakti untuk kerajaan melalui tenaga yang disebut “ gawi “ dan “ pupuan pinta “. Kewajiban “ gawi “ dan “ pupuan pinta “ ini merupakan kewajiban setiap warga sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan. Bagi warga kerajaan yang dikenakan uang baktin yaitu dibayar dengan tenaga yaitu bekerja untuk kepentingan kerajaan tetapi dapat juga diganti dengan sejumlah uang yang besarnya sudah ditetapkan. Uang nadzar adalah kewajiban membayar dengan uang tanpa dapat diganti dengan bekerja untuk kerajaan. Kewajiaban “ gawi “ dan “ pupuan pinta “ semacam pekerjaan gotong royong yang diwajibkan bagi setiap warga kerajaan. Masalah selanjutnya dari pasal ini adalah kewajiban bagi semua warga kerajaan untuk tunduk pada Fatwa Haji Jamaluddin yang menjadi Mufti Kerajaan, cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Fatwa yang bersifat dan menyangkut masalah agama terhimpun dalam Parukunan yang merupakan petunjuk praktis untuk menjalankan ibadah. Tetapi dalam pasal ini adalah kewajiban taat pada fatwa Haji Jamaluddin Mufti kerajaan tentang uang nadzar yang sah dan tidak sah. Nadzar yang sah adalah yang dinyatakan secara tegas dengan berbagai persyaratannya, sedangkan nadzar yang tidak memenuhi persyaratannya adalah tidak sah. Kalau ada yang tidak taat pada fatwa itu, penyelesaiannya diserahkan kepada Sultan. Pasal 32 menurut catatan Biro Hukum adalah teks dari pasal 33 menurut versi Amuntai. Undang-Undang Sultan Adam menurut versi Amuntai dialnjutkan dengan pasal 33 sampai dengan pasal 38.
Perkara 33 : “ Sekalian orang jang handak berhoekoem kapada Kadhi di Boemi Selamat jaitoe naik dahoeloe kapada si Boetoeh atawa kapada Mangkuboemi, maka ia berdoea itoe koesoeroeh mamariksa serta memoetoeskan mesjawaratnja, kemoedian bawa poetoesannja kapada diakoe dan barang jang berkahandak kepada Kadhi, maka si Boetoeh koesoeroeh memberi tjap soepaja diterima oleh Kadhi “.
Pada pasal ini ada dua istilah yang perlu diketahui terlebih dahulu yaitu “ Boemi Selamat “ dan “ si Boetoeh “. Bumi Selamat adalah untuk Keraton Sultan di Martapura. Nama keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya di sebut Bumi Kencana. Tentang nama keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara kerajaan Banjar dengan Belanda tahun 1806 tanggal 11 Agustus. “ Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban dalam negeri Bumi Kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat, sebelas hari dari bulan Agustus tahun seribu delapan ratus enam “. Sebutan “ si Butuh “ adalah sebutan putera mahkota yaitu anak dari Sultan sendiri yang saat itu adalah Sultan Muda Abdurrahman. Sedang sebutan “ ading-ading “ dalam pasal 11 maksudnya adalah Mangkubumi atau Perdana Mentri yang saat itu dijabat oleh ading Sultan sendiri, yaitu Mangkubumi Kencana. Dalam pasal ini disebutkan bahwa barangsiapa yang hendak berperkara kepada Kadhi di Bumi Selamat terlebih dahulu harus datang kepada Putera mahkota Sultan Muda harus memberi cap kerajaan agar perkaranya diterima oleh Kadhi.
Perkara 34 : “ Akan Kadhi Bumi Selamat telah moefakat sama diakoe, jang ia tiada namarima chal-chal orang melainkan jang ada tjap si Boetoeh dan tjap Mangkoeboemi, dan lagi apabila ada jang anggan daripada poetoesan Hakim jang soedah djadi tjap Mufti, Mangkoeboemi jang koesoeroeh mengarasi dengan mengikat atawa marantai “.
Menurut pasal ini bahwa Kadhi bermufakat dengan Sultan bahwa ia tidak menerima persoalan-persoalan melainkan yang ada cap dari Sultan Muda dan Mangkubumi. Kalau orang tetap enggan atau menolak putusan itu, maka Mangkubumi diperintahkan menghukumnya dengan hukum mengikat atau dirantai.  
Perkara 35 : “ Apabila Kadhi Boemi Selamat mendapat kenjataan orang jang melanggar oendang-oendang atawa orng jang mendjoeal namakoe atawa nama si Boetoeh atawa nama Mangkoeboemi atawa jang mentjampoeri pekerdjaan si Boetoeh atawa pekerjaan Mangkoeboemi. Kadhi Boemi Selamat koe-idzinkan mahoekoem orang itoe sekoerang-koerangnja setahoen “.
Pasal ini menegaskan sanksi hukuman bagi orang yang melanggar Undang-Undang menjual nama Sultan, Sultan Muda atau menjual nama Mangkubumi, Kadhi Bumi Selamat diperintahkan untuk menghukum orang tersebut dengan hukuman setahun. Pasal ini merupakan satu-satunya pasal yang memuat sanksi hukuman kurungan sekurang-kurangnya setahun. 
Dalam pasal ini diatur adanya beberapa tindak pidana yang diancam dengan hukuman kurungan sekurang-kurangnya setahun, yaitu :
a.         Melanggar Undang-Undang Sultan Adam. Memang tidak jelas jenis melanggar Undang-Undang, pasal berapa yang kena sanksi hukuman kurungan setahun itu. Dalam pasal-pasal sebelumnya hanya disebutkan, “ bapadah kajah diakoe “ artinya laporkan kepada Sultan. Dalam hal ini jenis hukumannya terserah pada Sultan.
b.         Menipu atau perbuatan tertentu dengan menggunakan atau mengatas namakan nama Sultan untuk kepentingan keuntungan pribadi.
c.          Menipu atau perbuatan tertentu dengan menggunakan atau mengatas namakan nama Sultan Muda untuk kepentingan keuntungan pribadi.
d.         Menipu atau perbuatan tertentu dengan menggunakan atau mengatas namakan nama Mangkubumi untuk kepentingan keuntungan pribadi
e.         Mencampuri pekerjaan Sultan Muda dan Mangkubumi maksudnya menggagu dengan perbuatan, tindakan atau ucapan kelancaran tugas dari pejabat kerajaan tersebut.

Perkara 36 : “ Barangsiapa ada kadapatan moefakat pekerdjaan Kadhi dahoeloe dari pada menjampaikan kapada si Boetoeh atawa Mangkoeboemi maka orang itoe koehoekoem dengan hoekoeman jang telah koeizinkan kapada Kadhi itoe jaitoe jang diseboet dalam perkara jang katiga poeloeh lima “.
Pasal ini merupakan kelanjutan dari pasal 35, bahwa seseorang yang berperkara itu harus terlebih dahulu mengajukan kepada Sultan Muda ( si Boetoeh ) dan Mangkubumi jangan langsung kepada Kadhi. Kalau diketahui menyalahi prosedur maka dikenakan hukuman seperti pasal 35.
Perkara 37 : “ Hendaklah sekalian ra’jatkoe ingat-ingat akan sekalian oendang-oendang ini “.  
Pasal ini mempertegas bahwa semua rakyat kerajaan harus memperhatikan apa yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini, dengan kata lain harus mematuhinya.
Perkara 38 : “ Ini oendang-oendang kapada sakalian kepala-kepala baik radja-radja atawa mantra, pambakal lainnja apabila ia koesoeroeh maka didjalankannja apa-apa jang terseboet di dalam tjapkoe itoe, maka ada jang malawan, jaitoe djikalaoe ia memboenoeh, maka tiadalah koebariakan hoekoem mamboenoeh kapada orang jang mendjalankan perintahkoe itoe “.
Pasal ini merupakan ketentuan kepada pejabat-pejabat kerajaan, seperti : Raja-raja, Mantri, Pembakal atau lainnya yang menjalankan tugas kerajaan atas perintah Sultan, maka ada yang melawan dan si pejabat itu terpaksa membunuh orang yang melawan itu, maka si pejabat tersebut tidak dikenakan sanksi hukuman.
Undang-Undang Sultan Adam versi Amuntai ditutup dengan kata-kata yang berbunyi : “ Maka ini oendang-oendang telah moefakat akoe dengan Mangkoeboemi dan sakalian Radja-Radja dan Mantri-mantri, Pambakal dan Toean-Toean Haji dan sakalian kepala-kepala adatnja “.  Pasal penutup ini, menjelaskan bahwa Undang-Undang Sultan Adam ini telah mendapat persetujuan dari segala lapisan pejabat, mulai dari mangkubumi, Raja-Raja, Mantri-Mantri, Pambakal dan Tuan Haji ( Alim Ulama ). Raja-Raja disini maksud adalah wilayah kerajaan kecil yang takluk pada kekuasaan kerajaan Banjar.

III.       PENUTUP
Sejarah hukum adat Indonesia khususnya di suku-bangsa Banjar Kalimantan Selatan adalah gambaran dari kejadian mengenai hukum adat di masa lampau. Oleh karena hukum adat  itu adalah kebiasaan masyarakat yang seharusnya berlaku, yang berubah-ubah dari masa yang satu ke masa yang lain, berbeda diantara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain.
Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perobahan dan stabilitas.  Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau.
Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.
Keberadaan hukum khususnya dalam Undang_Undang Sultan Adam di tanah Banjar Kalimantan Selatan, setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa aturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah ada sejak zaman dahulu. Ini merupakan sebuah kekayaan bagi bangsa Indonesia, peraturan seperti yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan sekarang  yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, setidaknya keberadaannya sudah ada dan diatur pada zaman Kerajaan Banjar.



Daftar Pustaka

Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Undang-Undang  Sultan Adam Ditinjau dari Perspektif Hukum, Hukum Islam, dan Hukum Adat Banjar, Makalah pada Simposium tentang Undang-Undang Sultan Adam, Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin, 1984.

Abdurrahman, Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19, Makalah, 1989.

Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat Pada Masyarakat Banjar, Penerbit LK3, Banjarmasin, 2008.

Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar ( Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar ), Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.

Kamrani Buseri, Sepintas Masuknya Islam di Borneo, Artikel, Banjarmasin

Marko Mahin, Urang Banjar Identitas dan Etnisitas di Kalimantan Selatan, Artikel, Jurnal Kebudayaan Kandil, Banjarmasin, Edisi 6, 2004

M. Faqih de Ridha, Potret Lain Perjalanan Hukum di Kerajaan Banjar, Artikel, Jurnal Kebudayaan Kandil, Banjarmasin, Edisi 7, 2005

Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.



*) Anggota KPU Kab. Kotabaru / Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Univ. Merdeka Malang.
[1] Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010,
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar ( Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar ), Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, halaman 25

[3] Alfani Daud, op Cit, hal 26

[4] Ibid, hal 26
[5] Alfani Daud, op Cit, hal 27
[6] Prof.Dr.H.Kamrani Buseri,MA, Sepintas Masuknya Islam di Borneo
[7] Prof.Dr.H.Kamrani Buseri,MA, Sepintas Masuknya Islam di Borneo
[8] Abdurrahman, Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19, Makalah, 1989.
[9] Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat Pada Masyarakat Banjar, Penerbit LK3, Banjarmasin, 2008, hal 11